- Home >
- Perempuan Pertama di Dunia. Asal Aceh
Posted by : YAHYA
Friday 21 August 2015
tetapi sejarah telah menorehkan lain, ternyata angin
emansipasi lambat laun berhembus menuju Bumi Nusantara. Kehebatan kaum
perempuan Melayu-Nusantara telah menginspirasi perubahan peran kaum perempuan
di seluruh dunia, terbukti torehan nama kapal perang KRI Malahayati yang
diambil dari seorang pejuang perempuan dari Aceh sebagai admiral perempuan
pertama di dunia. Beliau juga tercatat dalam sejarah sukses menghalau Portugis
dan Belanda masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita Belanda, Marie Van
Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral Malahayati” (Malahayati-
Sang Admiral Wanita).
Pahlawan
wanita bernama Keumalahayati atau Malahayati mendapat kepercayaan menjadi orang
nomor satu dalam memimpin pasukan militer dari kesultanan Aceh. Malahayati
akrab dengan dunia angkatan laut, karena tidak terlepas dari didikan Sang Ayah
yang juga seorang Laksamana, bernama Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said
Syah. Dalam darah Malahayati juga mengalir kuat darah seorang kakek yang juga
merupakan putra Sultan Salahuddin Syah dan pernah memimpin Aceh pada 1530-1539.
Sebagai pelaut dan pejuang wanita, Malahayati pernah memimpin 2000 orang yang
terdiri dari para janda yang suaminya telah tewas sebagai pahlawan di medan
laga (mereka dikenal dengan sebutan pasukan Inong Balee) untuk berperang
melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11 September 1599.
Pada
pertempuran tersebut, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam
sebuah duel di atas geladak kapal. Oleh karena itulah, Malahayati memperoleh
gelar laksamana pertama di dunia. Malahayati hidup di masa Kerajaan
(Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang
memerintah antara tahun 1589-1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai
kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut
Limpah yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Meunasah/Pesantren, beliau meneruskan
pendidikannya ke Akademi Militer Kerajaan, “Ma’had Baitul Maqdis”, akademi
militer yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah.
Akademi ini didukung oleh 100 dosen angkatan laut yang sengaja didatangkan dari
kerajaan Turki tersebut. Disini pula dirinya bertemu jodohnya sesama kadet yang
akhirnya menjadi Laksamana, namun sampai kini nama suaminya belum dapat
diketahui dengan pasti. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi
Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam, begitu juga
dengan suami yang diangkat menjadi Laksamana.
Tidak banyak
catatan mengenai sejarah hidup Malahayati, namun terdapat sumber catatan dari
seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis pernah
mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksamana Malahayati,
Kesultanan Aceh memiliki perlengkapan armada laut. Malahayati digambarkan pula
sebagai sosok yang tegas dan sigap mengkoodinir pasukannya di laut serta
mengawasi berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta
secara seksama mengawasi kapal-kapal jenis milik Kesultanan Aceh Darussalam.
Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis.
Setelah
suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang
berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para
janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu, yang
dinamai Laskar Inong Balee dengan anggota berjumlah 2000 orang prajurit.
Bertahap demi tahap, karir Malahayati mulai melesat, saat itu Kerajaan Aceh
memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk
armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau
Armada Perempuan Janda.
Pasukan itu
bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi
sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini
masih bisa dilihat di Aceh. Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan
Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya
seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Armada asing yang
melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar. Pada 21 Juni 1599, pasukan
ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan Kesultanan Banten
tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman
disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh.
Karir
militernya menanjak setelah kesuksesannya “menghajar” kapal perang Belanda yang
dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis
de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di
geladak kapal pada 11 September 1599, sedang adiknya Frederich de Houtman
tertawan dan dipenjarakan selama kurang lebih dua tahun. Frederich inilah orang
Eropa pertama yang menterjemahkan Bijbel kedalam bahasa Melayu. Akhirnya beliau
diberi anugerah gelar Laksamana (Admiral). Kerajaan Aceh melawan Laskar Inong
Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan dan Belanda berhasil dilibas.
Belanda kembali menyerang, pada 21 November 1600 dibawah Komando Paulus van
Caerden, mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah di pantai
Aceh.
Di tahun
berikutnya, bulan Juni, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob
van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden,
Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh
melalui utusan Maurits van Oranjesent. Malahayati ternyata juga merupakan sosok
negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding
dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard
de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar
50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden. Sepak
terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris.
Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat
Malaka.
Emansipasi sejak jaman penjajahan memang masih belum
dikenal, Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk
mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di
bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumbersejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Setelah
wafat dalam pertempuran laut Teluk Krueng Raya Malahayati dimakamkan di lereng
Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda
Aceh, tidak jauh dari Benteng Inong Balee,. Lokasi makam pada puncak bukit,
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan.
Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa
tempat yang tinggi itu suci.
Beberapa
kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain:
Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di
Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan Gunung Jati di Cirebon. Nama Malahayati
sangat melegenda karena semangat dan perjuangannya melawan dan mengusir
penjajah. Untuk mengenang jasanya sebagai pejuang tanpa pamrih tersebut nama
Malahayati diabadikan untuk nama jalan, rumah sakit, universitas di Pulau
Sumatera, hingga kapal perang TNI Angkatan Laut. Sejarah sudah mencatat
beberapa pelaut wanita yang hebat di dunia ini. Laksamana Malahayati harus
dikenang sebagai salah satu pahlawan diantaranya karena perjuangannya yang
tanpa peduli harus menderita, bahkan sampai kehilangan suami tercinta.
(*/Disarikan dari Pelbagai Sumber)
Sumber :
bin.go.id
Salam sukses untuk indonesia masih banyak artikel lain yang akan kita bagi kan jangan lupa di share ya dan Like,,,,,,